Selasa, 18 Agustus 2009

Bledug Kuwu

Masyarakat Grobogan Purwodadi sudah tidak asing lagi akan adanya “bledhug kuwu“ tersebut, sebab obyek Bledhug Kuwu telah menjadi obyek wisata alam yang menarik di daerah tersebut. Keajaiban alam berupa “plembungan endhut“ yang meletus ( bledhug ) dengan suara letusan yang cukup keras ini memang benar - benar ajaib. Bledhug itu sepanjang zaman tidak putus - putusnya terjadi dilokasi tanah seluas kurang lebih 40 Ha. Bledhug itu ada yang sangat besar, bahkan ada yang sebesar rumah penduduk.

Menurut cerita tutur, bledhug itu terjadi karena ulah Jaka Linglung, Putra Aji Saka atau Prabu Jaka dari kerajaan Medang Kamulan.

Pada satu ketika Jaka Linglung yang berwujud ular naga itu disuruh Aji Saka atau Prabu Jaka membunuh Dewata Cengkar yang telah berubah rupa menjadi seekor buaya putih yang sangat besar, sebagai syarat untuk diakui sebagai anaknya. Jaka Linglung berangkat ke laut selatan tempat Dewata Cengkar bertahta. Dia tidak sabar melalui darat, maka dia melalui dalam tanah, jalan yang dilalui oleh Jaka Linglung itu akhirnya berubah menjadi “tanah lendhut“ Bledhug yang terjadi adalah nafas Jaka Linglung selama dalam perjalanan itu. Jadi menurut kepercayaan orang, ada hubungan bledhug itu dengan laut selatan.

Kenyataan sampai sekarang, air dari bledhug itu mengandung garam dan ditambang oleh penduduk sekitarnya sebagai tambang garam yang diambil dari air bledhug tersebut.

Selanjutnya cerita Jaka Linglung menurut cerita Aji saka, adalah sebagai berikut : Dalam serat primbon Jayabaya ( hal. 23 - 24 ) terdapatlah pasal yang menyebutkan tentang perginya Prabu Esaka dalam bab V Piwulang Dewa, yang berbunyi :

Pun Jaka sengkala anakipun Empu Anggejali, patutan saking Dewi Saka, Putranipun Raja Sarkil ing pulo Najran Sareng Jaka Sengkolo jumeneng nata, jejuluk Sang Aji Saka jengkar saking negaripun lajeng Nga Jawi, tanpo wonten ing redi kandha ( kendeng ? ) tlatah banyuwangi jejuluk Empu Sengkala. Anuju ing Surya Adam, tahun 5164, Chandra 5316, Empu Sengkala macak titimangsa tahun jawi : kaeteng tahun Candra - Sengkala I Warsa. Tahun Rum anuju angka 444 warsa. Tahun Adam tahun Surya 5161 warsa. Tahun Masehi 78 jumenengan nata.

Aji Saka ke tanah Jawa dengan keempat orang muridnya. Di tanah Jawa dia mendirikan perguruan di ujung kulon. Kemudian mengembara sampai ke Galuh. Disini murid - muridnya ditinggalkannya, dan dia terus mengembara ke arah timur. Sampailah dia ke Medang Kamulan, tempat Prabu Dewata Cengkar, raja yang gemar makan manusia, bertahta .

Menurut serat Sindula ( Babat pajajaran, naskah carik ) negara Medang Kamulan dikuasai oleh seorang raja raksasa yang gemar makan manusia, bernama Prabu Dewata Cengkar. Akibat ulah raja itu rakyat menjadi sangat susah, sebab tiap hari harus dapat menyerahkan seorang manusia sebagai santapannya. Prabu Dewata Cengkar itu adalah putra Prabu Sindula, titisan Dewa Wisnu ke dunia di negara Galuh. Prabu Dewata Cengkar berontak kepada ayahnya Prabu Sidula kalah dan Moskwa Dewata Cengkar menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Galuh. Kerajaan dipindahkan ke Medang Kamulan.

Sementara itu dalam pengembaraan Aji Saka sampailah ke Negara Medang Kamulan itu. Aji Saka datang ke rumah janda sengkeran, seorang janda patih di Medang Kamulan. Disitu, sebagai seorang guru (Brahmana) dia banyak mengajarkan ilmu sastra, ilmu penitisan dan ilmu pengetahuan agama. Dari cerita janda sengkeran diketahui bahwa dalam negara Medang Kamulan sedang dilanda kesusahan yang besar, sebab ulah prabu Dewata Cengkar yang gemar makan manusia. Sebagai seorang Brahmana Aji Saka ingin melepaskan rakyat Medang dari kesengsaraan itu. Maka dia minta kepada janda Sengkeran agar dia haturkan kepada Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya. Karena kehendak Aji Saka itu tidak dapat dihalangi oleh janda sengkeran, akhirnya Aji Saka dihaturkan ke Prabu Dewata Cengkar untuk dijadikan santapannya .

Di hadapan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka menyatakan mau disantap oleh Sang Prabu asal dapat meluluskan satu permintaannya, yaitu minta tanah seluas kain ikat kepalanya. Sang Prabu tidak keberatan meluluskan permohonan tersebut .

…. Pan apurun dados dhaharing Sang Nata, nanging dharber prajanji nuwun bumi medhang, sawijare kang dhestar, bumi dhen suwun sumiyeh, yen sampun tanpa semonggo karso aji. Serat (Sindula : 17) Demikianlah permohonan Aji Saka tersebut dikabulkan. Destar (Ikat Kepala) diminta oleh prabu Dewata Cengkar, kemudian ditebarkan (dijereng), ternyata kain ikat kepala itu menutupi seluruh daerah Medang Kamulan karena kalah janji, maka Prabu Dewata Cengkar beserta prajuritnya yang setia diusir dari Negeri Medang terjadilah perang yang hebat dan Prabu Dewata Cengkar terpojok di pantai laut selatan, akhirnya dia menceburkan diri ke laut, dan berubah menjadi buaya putih yang merajai laut selatan.

Dyan Dewata cengkar salah kedaden, pan dadi baya putih wis kena ing papa, ceritane kang rama gengiro ka giri - giri, lir endra suta kagila - gila ngajrihi .( Ibit : 18 ) .

Di laut selatan Dewata Cengkar mendirikan kerajaan manusia. Patihnya bernama Adipati Gajah Mina : Bupati Ki Tumenggung Mamprang : prajurit : Haryo Lodan, Ronggo saradulo demang Wikridipo : Ki Pandelengan mina : Santono Tumenggung Mamprang, Harya Kaluyu, Raden Saradula; Demang Wikridipo : Ki Pandelegan Mina : Santapan Tumenggung Mamprang hanya terdapat dua raja yaitu Ratu Kidul dan Prabu Dewata Cengkar. Keduanya saling berebut pengaruh dan saling ingin berkuasa.

Demikianlah setelah Dewata Cengkar kalah dan menjadi buaya putih, Aji Saka diangkat menjadi raja Medhang Kamulan dengan gelar Jaka atau Empu Lodang Widayaka, atau Prabu Aji Saka.

Setelah menjadi raja, Aji Saka ingat akan dua anak abdinya yang ditinggalkan di pulau Mejati, yaitu Ki Dora dan Ki Samboda. Maka diutus abdinya yang lain untuk memanggil kedua abdinya itu. Yang datang adalah Ki Dora sedang Ki Samboda masih tetap di Pulau Majeti menunggui pusaka Aji Saka seperti pesan yang pernah ditinggalkan oleh Aji saka. Melihat kenyataan tersebut, maka Ki Dora disuruh kembali memanggil Ki Samboda dengan membawa keris pusakanya sekali. Tetapi lama sudah kedua abdi itu tidak kembali. Maka Aji Saka memutuskan Ki Duga dan Ki Prayuga ke Pulau Majeti. Dua Prayuga sampailah di Pulau Majeti ditemukan bahwa Ki Dora dan Ki Samboda telah kedapatan mati bersama. Melihat keadaannya keduanya habis berkelahi dan mati sampyuh .

Ing Pulau Mejati Nora kepanggih pun Dora Samboda inulatan, kepanggih mati karone ANACARAKA lampus, labet DATASAWALA sami, sakti PADHAJAYANYA, sakti sareng lamus, MANGGABATANGA sih, sandagane karone magsih sinanding, suku pepet, cokro pengkal. ( Ibit : 21 ) melihat kematian Dora Samboda tersebut, Duga Prayoga segera kembali ke Medang Kamulan, atur periksa kepada Prabu Jaka. Prabu Jaka menerima laporan tersebut sangat sedih sebab sebenarnya dialah yang bersalah. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka Prabu Jaka menceritakan CARAKA JAWA yang terdiri dari empat kalimat ( Utusan berjumlah empat orang ) dan masing - masing kalimat terdiri dari 2 huruf Nglegena ( peristiwa itu mengenai lima orang jadi CARAKA JAWA berjumlah dua puluh buah, caraka jawa itu dapat hidup dan berguna bagi kehidupan umat manusia harus disandangi dengan suku, wulu, cakra, cecak, pengkal, taling, taling tarung, layar dan sebagainya. Sedang huruf itu ada beberapa yang mati kalau dipangku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar